Minggu, 03 Mei 2009

PROSES PENULISAN PUISI: CATATAN AWAL


Apa yang disebut puisi pada hakikatnya adalah hasil dari proses kreatif penyair melalui penjelajahan empiris (unsur pengalaman), estetis (keindah-an), dan analitis (pengamatan).

1. Puisi: Ekspresi Pengalaman
Unsur empi-ris atau pengalaman tidak bisa tidak berkaitan de-ngan kenyataan bahwa karya sastra me-rupakan aktu-alisasi diri pengarang dalam berko-munikasi dengan kenyataan keseharian (realitas obyektif). Dari sudut pandang manapun, sastra selalu merupakan strukturasi pe-ngalaman manusia. Dalam kaitan ini harus selalu di-ingat bahwa dalam menciptakan karya sastra pengarang selalu mempu-nyai sikap tertentu dalam menanggapi kenyataan yang dilihat, ia da-pat menanggapi realitas (mo-de of comprehen-sion), berko-munikasi dengan realitas (mode of comunication), dan mencip-takan kembali rea-litas (mode of creation) (baca Kuntowijoyo, 1987). Segi estetis meliputi pe-milihan kata (dik-si). Sedangkan unsur pengamatan berkaitan de-ngan kepekaan pan-caindera dalam melihat, merasakan, me-raba, mengecap, dan mencium (hal ini akan lebih jelas lagi dalam pembicaraan berikutnya).
Sebuah pertanyaan yang layak dikedepankan adalah: apakah pengalaman yang sama akan melahirkan sebuah puisi yang sama? Sebagai contoh ketika kita menulis puisi cinta dengan pengalaman yang sama, misalnya sama-sama putus cinta, apakah akan menghasilkan puisi yang sama? Jawabannya tentu saja mungkin sama dan atau mungkin saja berbeda. Perbedaan itu dapat terjadi karena (1) adanya ketidaksamaan sudut pandang, (2) latar belakang masing-masing individu (dalam hal ini penulis) yang berlainan, dan (3) adanya unsur-unsur khas dan individual. Tema “putus cinta” tidak akan sekedar menjadi cerita picisan jika ditampilkan dengan sudut pandang yang tidak biasa. Kita dapat menyajikan persoalan “putus cinta” dari sudut pandang orang ketiga yang sudah terlalu lama menantikan "giliran” untuk mendapatkan perhatian dari Nita; dari sudut pandang ayah atau ibu yang sesungguhnya tidak merestui hubungan Husni dengan Wawan atau Mas Herry dengan Diajeng Yuli Prasetyowati; dari sudut pandang ruang tiga kali empat yang selalu mengintip David dan Wita; atau dari sudut pandang seekor nyamuk yang sering mengganggu Stella dan Indra. Semakin khas dan tidak lazim posisi yang dipilih, semakin menantang pula persoalan itu untuk digarap menjadi puisi. Perhatikan pula tiga puisi di bawah ini dan kesan apa yang kira-kira bisa kita tangkap?

Emma Fitria S. (SMU 2 Yogyakarta)
MALAM

di sini malam begitu tenang dan damai
di sana malam sangat kotor
: kupu-kupu berterbangan
mencari mangsa

Mariati Tarigan (SMU 1 Kayu Aro, Kerinci, Jambi)
Sajak Malam

Perempuan malam dengan cucuran air mata
meratapi jiwa di sela-sela suara bahana
ayat suci yang nirmala

Hardiyanto Gunawan (SMU Muh. 2 Yogya)
Malam

malam-malam hitam
sehitam nasib anak jalanan
malam-malam kelam
temani si bunga malam
wahai anak jalanan dan bunga malam
hari depanmu suram bagaikan malam

Sekali lagi, “nilai tambah” baru akan terasa jika kita terus mengasah kepekaan pancaindera. Artinya, sejauh pancaindera kita memandang sesuatu benda, keadaan, peristiwa dengan “hapalan” maka kita tidak akan pernah bersentuhan dengan wilayah momen(t) puitik –titik awal dalam rangkaian penulisan puisi— yang “nggegirisi” atawa “ngedab-edabi”. Perlu diingat (Simatupang, 1998) meskipun perangkat kegiatan penginderaan demikian penting, orang mungkin sudah sangat terbiasa mengabstraksikan pengalaman inderawinya sehingga sekedar menjadi pengetahuan yang kering; ia terbiasa membuat kesimpulan-kesimpulan serba rasional mengenai “arti” benda-benda, tempat, orang, dan peristiwa. Melihat ayam kampung atau ikan air tawar, misalnya, ia segera berpikir mengenai kemungkinan berternak ayam atau bertani ikan sebagai usaha sampingan. Menyaksikan bukit di pinggiran kota, ia langsung berpikir untuk membeli tanah di situ, mendirikan vila, berharap cepat-cepat bisa menjadi lebih kaya. Jika kita selalu terperangkap dalam situasi tersebut, niscaya kita tidak akan pernah menemukan inspirasi atau ilham yang merupakan modal awal dalam menciptakan puisi atau karya seni pada umumnya.
Latar belakang seseorang, mau tidak mau, mempengaruhi bentuk ekspresi yang dihasilkan. Seseorang yang tidak terbiasa menulis puisi tentu saja akan pusing tujuh keliling jika secara tiba-tiba diminta membuat puisi. Dari sisi tipografi, tanda baca, penggunaan huruf kapital, menentukan objek tulisan, pasti akan menguras energi secara berlebihan; ditambah lagi dengan keterbatasan perbendaharaan ungkapan puitik….Di sisi lain, keunikan puisi dapat dihadirkan lewat unsur-unsur khas yang individual dan bersifat empirik, misalnya puisi Chairil Anwar menjadi “istimewa” dan mempunyai kekuatan sendiri. Bagi Chairil, puisi adalah epistimologi kata: dalam menciptakan puisi tiap kata akan digali dan dikorek-korek sedalamnya karena setiap kata mempunyai kekuatan sendiri-sendiri. Penyair lain, Taufik Ismail, mempunyai pandangan yang berbeda: puisi saya adalah puisi berkabar; dalam merebut komunikasi, puisi saya harus ada substansi sebagai (sebuah) kabar dengan tetap memperlihatkan kecerdasan serta sedap didengar. Almarhum Soebagio Sastrowardoyo memandang puisi sebagai kebulatan kesadaran hidup sehingga puisi-puisinya hadir sebagai renungan pribadi.

2. Puisi: Keindahan
Ada beberapa faktor pembeda antara puisi dan bentuk prosa (cerpen, novel, dan sebagainya). Faktor pembeda tersebut meliputi kadar kepadatan dan cara pengekspresian. Prosa memiliki kepadatan yang lebih “cair” karena sifatnya naratif dan merupakan media ekspresi konstruktif. Dengan demikian karya prosa memiliki peluang untuk menyampaikan penjelasan dengan lebih rinci, memberikan informasi secara merenik, dan berpeluang menguraikan sesuatu hal atau peristiwa kepada pembaca. Sedangkan puisi lebih bersifat kontemplatif kreatif, proses pengungkapannya melalui tahap konsentrasi dan intensifikasi. Dalam penciptaan puisi terjadi proses pemusatan terhadap suatu fokus; sedangkan dalam prosa suasana lain atau masalah yang lain dapat saja muncul di luar suasana atau masalah pokok yang ingin diungkapkan seorang pengarang.
Dari segi struktur pun terdapat perbedaan yang mendasar antara puisi dan prosa. Puisi dibangun oleh unsur struktur yang dikenal dengan (1) musikalitas, (2) korespondensi, dan (3) bahasa kiasan. Di sisi lain, prosa dibangun oleh unsur struktur yang terdiri atas (1) alur, (2) penokohan/perwatakan, (3) latar, (4) pusat pengisahan atau point of view, dan (5) gaya bahasa. Pada pembicaraan kali ini akan dilihat dan dibicarakan secara singkat unsur struktur puisi. Unsur musikalitas adalah unsur bunyi, irama atau musik dari puisi. Unsur musikalitas akan terlihat secara lahiriah karena berkaitan dengan penyusunan bunyi kata, suku kata, dan kalimat. Bunyi kata dalam puisi sangat besar peranannya dalam kaitannya dengan keindahan sebuah puisi. Pilihan bunyi kata berkaitan erat dengan kemerduan puisi. Perhatikan penggalan puisi Chairil Anwar berikut ini.

cemara menderai sampai jauh
terasa hari jadi akan malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

Dalam puisi tersebut kemerduan diciptakan dengan adanya persamaan bunyi seperti dalam “menderai” dan dalam “sampai”. Hubungan antarbaris pun tetap mempertahankan kemerduan puisi. Baris pertama kita dapati kata “jauh” yang memiliki unsur musikalitas dengan baris ketiga dengan hadirnya kata “merapuh”. Demikian pula dengan baris kedua kita dapati kata “malam” yang menimbulkan kemerduan saat dikaitkan dengan kata “terpendam” yang terdapat dalam baris keempat. Unsur musikalitas juga dapat dicermati dalam makna kata “terasa hari jadi akan malam” (baris ke-2) dengan “ada beberapa dahan di tingkap merapuh” (baris ke-3). Baris kedua tersebut menimbulkan sebuah kesan kesuraman dan kesepian, kesunyian. Baris ketiga menghadirkan kesan ketidakberdayaan. Kedua makna tersebut seakan-akan hadir bersamaan, memiliki pengertian yang berdekatan. Persamaan makna dalam kedua baris puisi itu menimbulkan suatu suasana suram. Jadi setiap penulis puisi pastilah mengadakan inventarisasi dan seleksi kata-kata untuk dipergunakan dalam penciptaan puisi agar pengungkapannya terasa lebih intensif. Semuanya dilakukan dengan mempertimbangkan kekuatan bunyi suatu kata agar menggugah pikiran dan perasaan pembaca serta mampu membangkitkan asosiasi tertentu kepada pembaca atau pendengar. Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pada umumnya bahasa dalam puisi bersifat sugestif (penyaranan), asosiatif (pertalian), dan imajis (pembayangan). Perhatiakan sebait puisi “Di Meja Makan” (karya Rendra) berikut ini.

Di Meja Makan

Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
meleleh air racun dosa


Baris “Ruang diributi jerit dada” memberi pembayangan (imaji) mengenai kegelisahan (seseorang) yang tak terpecahkan. Mungkin saja hatinya tengah diliputi ketakutan, kekalutan yang luar biasa. Suasana hati yang tertekan itu disugestikan lewat larik berikutnya: “Sambal tomat pada mata” yang menyarankan kepedihan luar biasa. Bayangkan saja bagaimana andai mata kita di-tableg dengan sambal cabe rawit, pasti perih dan panassss. Larik ini juga mengasosiasikan kepedihan yang dinyatakan lewat perihnya mata yang terkena sambal. Larik berikutnya seakan-akan menyimpulkan bahwa penderitaan tersebut terjadi karena perbuatan-perbuatan dosa: “meleleh air racun dosa”; ada semacam penyesalan yang mendalam.
Kembali lagi kepada pembicaraan semula mengenai unsur struktur puisi, maka apa yang dimaksud dengan korespondensi kiranya sudah jelas. Korespondensi adalah hubungan satu larik dengan larik berikutnya, satu kata dengan kata lainnya, dan satu bait dengan bait lainnya. Tidak tertutup kemungkinan korespondensi juga terjadi antara satu frase atau kelompok kata dengan frase lainnya. Seperti unsur musikalitas, unsur korespondensi juga terlihat secara lahiriah, terutama kaitannya dengan hubungan makna. Unsur lainnya yang dianggap penting dalam membangun puisi adalah bahasa kiasan yang mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain agar gambaran angan menjadi jelas, lebih hidup, dan menarik. Jenis-jenis bahasa kiasan yang cukup penting adalah (1) perbandingan (simile), (2) metafora, dan (3) personifikasi. Perbandingan (simile) adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata pembanding bagai, sebagai, bak, seperti, laksana, dan kata-kata pembanding lainnya.

Rick dari Corona
….
Betsyku bersih dan putih sekali
lunak dan halus bagaiikan karet busa
Rambutnya merah tergerai
bagai berkas benang-benang rayon warna emas

Betsy bagai lampu-lampu Broadway
Betsy terbang dengan indah
Bau minyak wanginya menidurkan New York


Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan tetapi tidak secara eksplisit menggunakan kata-kata pembanding (seperti, bagai, laksana, dan sebagainya). Metafora menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama.

Bumi ini perempuan jalang
yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
ke rawa-rawa mesum ini
(SS, “Dewa Telah Mati”)

Tuhan adalah warganegara yang paling modern
(SS, “Kathekisasi”)

Dalam puisi Subagio Sastrowardoyo di atas, bumi disamakan dengan perempuan jalang. Sedangkan rawa-rawa mesum merupakan kiasan kehidupan yang kotor penuh percabulan. Selanjutnya kita perhatikan puisi dari penyair lain, Amir Hamzah, yang bersifat metaforis –Tuhan dibandingkan dengan benda-benda dan perilaku binatang yang dapat mencakar dan memangsa.

Padamu Jua

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil gemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas


Lewat puisi “Padamu Jua”, Amir Hamzah melakukan percakapan atau dialog dengan Tuhan. Tuhan dikonkretkan dengan membandingkannya dengan kandil gemerlap: pelita yang menyala kerlap-kerlip. Perbandingan tersebut membuat sifat Tuhan Yang Maha Penerang menjadi lebih nyata dalam imajinasi kita karena yang terlihat dan terasakan dalam batin kita adalah sebuah kandil yang gemerlap. Sifat maha penerang yang semula abstrak dan sulit dibayangkan akhirnya menjadi lebih konkret karena benda yang dijadikan pembandingnya dapat kita hayati atau kita saksikan.
Personifikasi adalah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda seakan dapat berbuat atau berpikir seperti manusia. Perhatikan puisi berikut ini.

Percakapan dalam Kamar

Puntung rokok dan kursi bercakap tentang seorang yang tiba-tiba menghela nafas panjang lalu berdiri.
Bunga plastik dan lukisan dinding bercakap tentang seorang yang berdiri seperti bertahan terhadap sesuatu yang akan menghancurkannya.
Jam dinding dan penanggalan bercakap tentang seorang yang mendadak membuka pintu lalu cepat-cepat pergi tanpa menutupkannya kembali.
Topeng yang tergantung di dinding itu, yang mirip wajah pembuatnya, tak berani mengucapkan sepatah kata pun; ia merasa bayangan orang itu masih bergerak dari dinding ke dinding; ia semakin mirip pembuatnya karena sedang manahan kata-kata. (SDD)


Sebuah Kamar

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu. (CA)

3. Puisi: Kejelian dan Kecerdasan Pengamatan
Seperti telah disebutkan di bagian terdahulu, penciptaan puisi tidak dapat dilepaskan dari proses pengamatan terhadap sebuah fenomena, benda, peristiwa atau kejadian, dan sebagainya. Setiap pengamatan niscaya berkaitan dengan kepekaan pancaindera dalam melihat, merasakan, meraba, mengecap, dan mencium. Bagi penulis pemula tentu dibutuhkan kesabaran, kejelian, dan kecerdasan dalam mengamati segala sesuatu. Kebiasaan sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan memusatkan perhatian atas kehadiran seseorang. Kita acapkali melihat kehadiran seseorang hanya dari bleger-nya, sehingga ketika kita diminta membedakan si Anu dengan si Ani selalu saja muncul jawaban bahwa si Anu berbadan kurus dan berkulit hitam sedangkan si Ani agak gemuk dan kulitnya kuning langsat. Banyak dari kita yang lupa mengamati detail dari kehadiran keduanya. Orang selalu luput memperhatikan kebiasaan Ani yang selalu mengedip-ngedipkan matanya ketika berbicara, di jari tangannya yang lentik ada tiga cincin emas, lehernya dihiasi seuntai kalung, dan kalau berbicara bibirnya seringkali dimonyong-monyongkan. Dengan selalu memperhatikan “detail” seseorang/sesuatu/peristiwa, besar kemungkinan kita juga mempunyai sudut pandang yang berbeda ketika diminta menggambarkan seseorang/sesuatu/ peristiwa tersebut.
Tugas membuat beberapa puisi dalam kegiatan Bengkel Sastra setidaknya membuktikan bahwa kebanyakan dari kita masih memandang sesuatu dengan cara “biasa”, hanya mencatat apa yang “tampak nyata”. Akibatnya puisi yang hadir pun terkesan biasa saja, kurang menggoda. Ini terjadi karena puisi-puisi tersebut berangkat dari “hapalan” dan bukan dari ketajaman pengamatan. Ketika diberi tugas menulis puisi mengenai Malioboro, maka banyak dari kita yang terperangkap pada ungkapan-ungkapan klise bahwa Malioboro adalah tempat yang selalu penuh sesak, terang benderang, ada pengamen, pengemis, pedagang kaki lima; semuanya merupakan hapalan di luar kepala bagi kita yang sering melintasi Malioboro.

cuaca malam jalan Malioboro
keramaian tak pernah padam kesunyian tak pernah ditemukan
(Indra D.F.)

malioboro
tumbuh subur di jantung kota
penuh warna kilauan permata
semua orang elit, orang sakit dan orang pelit
berbaur serta bercampur di sini
(Afendie Yuan Toni)

ciri khususmu
menjadi sesuatu yang nampak di kotaku
gudeg yogya
menjadi bagian dari hidupku
kotaku…identik denganmu malioboro
(Lucia Desi)

Denyut nadimu
mengantarkan suasana kota kecilku
alunan syahdu gendang pengemis jalanan
mewarnaimu setiap waktu
(Dianika Fitri)

Bola-bola lampu menyelami malam
derap kaki mengukur aspal
tak pernah diam
selalu bergelora seiring putaran jam
(Anita Febriarti)

Siapa yang berani menyangkal “kebenaran” mengenai Malioboro yang tergambar dalam beberapa puisi di atas? Saya yakin kita akan setuju saja dengan paparan Indra, Afendie, Luci, Dianika, dan Anita. Hanya saja puisi-puisi tersebut tidak memperlihatkan kejelian dan kecerdasan penulisnya karena yang hadir di hadapan kita adalah “hapalan” mengenai Malioboro, bukan menyangkut kemungkinan lain yang bisa terjadi di Malioboro. Apa komentar kita mengenai puisi tentang Malioboro yang ditulis Gilang D. Parahita berikut ini?

Cerita Malioboro

bulan terhimpit
di jalan-jalan sempit
malioboro yang riuh

bulan malu melihat rupanya
di etalase pertokoan
malioboro yang mencengang

lalu bulan beralih ke alun-alun
dan kencing bersama pria-pria
hidung belang
kemudian ia memperkosa vrendenburg
yang hening tanpa terang malam

Puisi “Cerita Malioboro” di atas ditulis dengan kejelian dan kecerdasan penulisnya sehingga puisi tersebut terasa tidak biasa. Kelebihan puisi Gilang D. Parahita terutama teletak pada sudut pandang (point of view) yang tidak lazim, tidak berangkat dari sisi si aku maupun Malioboro tetapi dari sudut pandang bulan (yang terhimpit di jalan-jalan sempit dan kemudian memperkosa vrendenburg). Nilai tambah lain terletak pada ungkapan dan personifikasi yang terasa menggugah. Saya mempunyai keyakinan bahwa Gilang sudah terbiasa dengan proses kreatif penulisan puisi sehingga walaupun kata-kata yang dipergunakan merupakan kata sehari-hari, tetapi mampu menghadirkan kesan mendalam dalam puisinya.

4. Puisi: Apresiasi
Ketika menciptakan puisi sesungguhnya seseorang tidak mempunyai niatan neko-neko agar orang yang membaca puisinya menjadi bingung. Apalagi jika diingat bahwa sesulit apapun puisi maka ia harus dapat dipahami. Puisi hadir karena adanya keinginan pengarang untuk menyampaikan pengalamannya kepada orang lain (pembaca). Untuk dapat memahami karya sastra (dalam konteks ini puisi) diperlukan apresiasi atau pengenalan dan pemahaman terhadap puisi. Dengan melakukan apresiasi maka seseoramg akan (1) merasa mampu memahami pengalaman orang lain, (2) menghargai kemampuan sastrawan dalam menciptakan karya sastra, dan (3) mampu menemukan nilai-nilai estetik karya sastra.
Maman S. Mahayana (1999) dengan cukup baik telah memberikan contoh bagaimana langkah-langkah sederhana yang dapat dijadikan semacam pegangan dalam mengapresiasi puisi, yaitu (1) lewat titik pandang (point of view), (2) lewat pemahaman teks denotatif, dan (3) pemahaman teks denotatif.

Asrul Sani
Surat dari Ibu

Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau

Langkah pertama untuk memahami puisi tersebut tentunya dengan melihat sudut pandang dengan mencermati siapa yang berbicara (aku liris, engkau, dia atau siapapun), kepada siapa ia berbicara (kepada sesama manusia, alam, Tuhan atau diri sendiri), apa yang dibicarakan (diri sendiri, orang lain, masyarakat, alam atau apapun juga), bagaimana ia berbicara (bersemangat, sedih, datar, menghentak, marah atau gembira).
Pertanyaan siapa yang berbicara dan kepada siapa ia berbicara dalam puisi “Surat dari Ibu”, yaitu seorang ibu yang berbicara kepada anaknya (lewat surat). Bahan pembicaraan (hal yang dibicarakan) adalah nasihat ibu kepada anaknya yang pergi mengembara. Karena dalam konteks memberi nasihat, tentu saja seorang ibu harus berbicara dengan nada datar dan penuh cinta kasih.
Sebuah puisi lain yang dicontohkan Maman S. Mahayana adalah “Doa si Kecil” (Taufiq Ismail) sebagai berikut.

Taufik Ismail
Doa Si Kecil

Tuhan Yang Pemurah
Beri mama kasur tebal di surga
Tuhan yang kaya
Berikan ayah pipa yang indah

Amien

Yang berbicara dalam puisi “Doa Si Kecil” adalah seorang anak yang tengah berdoa kepada Tuhan. Karena masih usia kanak-kanak tentunya ia berdoa dengan bahasa yang sederhana.
Lewat pemahaman makna denotatif (langkah kedua), larik Beri mama kasur tebal di surga, mengisayaratkan bahwa kasur tebal di mata sang anak adalah tempat yang ibunya dapat tidur nyenyak. Jika sang ibu dapat tidur pulas, maka sangat mungkin mimpi indah akan melengkapi

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda