Senin, 13 Oktober 2008

Teknik Penulisan Kreatif

Herry Mardianto

/1/
Sesungguhnya kita terlahir dengan banyak keterampilan kreatif. Ketika masih bayi, kita secara alamiah selalu ingin tahu serta antusias menjelajahi dunia sekitar. Kita menikmati warna, cahaya, gerakan, dan bunyi. Kita ingin merasakan, mengambil, dan memanipulasi apa saja yang terlihat. Kita puas menghabiskan hari demi hari bermain dan bereksperimen dengan berbagai benda, mainan, dan unsur-unsur alam (hujan, pasir, lumpur, dsb). Semasih bayi serta bocah baru belajar berjalan, secara alamiah kita adalah ahli rancang bangun, seniman, penyair, ahli kerajinan seni, dan pemusik.
Kita umumnya mulai membatasi pencarian dan kemampuan kreatif pada usia teramat muda. Biasanya, mulai saat SD. Di sini sedikit demi sedikit, kreativitas mulai dikekang oleh pendidikan tradisional. Kita duduk berderet atau berkelompok dan diharuskan tunduk pada peraturan dan prosedur yang kaku, yang kebanyakan membatasi keterampilan berpikir kreatif. Dalam belajar, kita lebih sering menghafal ketimbang mengeksplorasi, bertanya, atau bereksperimen. Saat menapaki SD, SMP, dan seterusnya, kreativitas semakin jarang diasah, sehingga akhirnya berhenti tumbuh.
Namun, bukan Cuma sistem pendidikan yang memasung kreativitas. Upaya kreatif kita sering ditanggapi dengan kritik dan umpan balik yang negatif, bukan dukungan dan dorongan. Apabila ada guru, teman, orang tua, atau saudara dengan sengaja atau tidak melontarkan komentar bernada olok-olok atas puisi, patung, cerpen, lukisan yang kita ciptakan, hati kita pun terluka karenanya. Ternyata bagi kita, sikap menarik diri dan tidak lagi memperlihatkan kreativitas tampak jauh lebih aman ketimbang menerima resiko olok-olok atau dipermalukan.
Saat kita beralih dari jenjang sekolah menapaki dunia kerja, pergaulan antarmanusia dan mungkin dalam hidup berkeluarga, faktor lain yang menghambat kita menggunakan daya kreatif secara maksimal adalah masalah ketegangan. Kita banyak menerima tekanan dalam kehidupan sehari-hari sehingga energi kita melemah. Kreativitas sulit ditumbuhkan jika kita harus menghadiri pertemuan demi pertemuan, merancang kegiatan untuk anak-anak/keluarga, sekaligus menjaga rumah.

Setiap orang diberi tujuh kemampuan dasar atau kecerdasan yang dikenal dengan seven kinds of smart. (Thomas Armstrong).

Seven Kinds of Smart

- Verbal/linguistis: kemampuan memanipulasi kata secara lisan atau tertulis.
- Matematis/logis: kemampuan memanipulasi sistem nomor dan konsep logis.
-l Spasial: kemampuan melihat dan memanipulasi pola-pola desain.
- Musikal: kemampuan mengerti dan memanipulasi konsep musik, seperti nada, irama, dan keselarasan.
- Kinestetis-tubuh: kemampuan memanfaatkan tubuh dan gerakan, seperti dalam olah raga atau tari.
- Intrapersonal: kemampuan memahami perasaan diri sendiri, gemar merenung serta berfilsafat.
- Interpersonal: kemampuan memahami orang lain, pikiran, serta perasaan mereka.

Kita biasanya dominan dalam satu atau dua jenis kecerdasan. Meskipun demikian, dari ketujuh kecerdasan tersebut, kita memiliki kombinasi unik yang bisa kita jelajahi dan sadap sepanjang hayat. Namun umumnya, kita terlalu membatasi diri sebab semasa anak-anak kita didorong untuk hanya memusatkan diri pada satu kecerdasan—khususnya verbal/linguistis atau matematis/logis. Kedua kecerdasaan inilah yang umumnya ditekankan dalam sistem pendidikan. Akibatnya, kita berkesimpulan bahwa kita tidak memiliki kemampuan atau potensi di bidang lain.

Pada diri setiap orang (dalam pengajaran umum) harus dikembangkan keterampilan pokok yang disebut 3 R.

- Reading (membaca)
- (W)Riting (menulis)
- Rithmetic (berhitung)

dari 3R itu, wriring merupakan keterampilan yang terbesar jasanya bagi peradaban manusia. Bayangkan saja seandainya umat manusia tidak memiliki dan mengembangkan keterampilan menulis sehingga tiada tulisan-tulisan yang mewariskan seluruh kebudayaan rohaniah turun-temurun sepanjang abad, mungkin manusia dewasa ini menyerupai kumpulan kera yang berbaju saja.

J. Hambleton Ober—Writing: Man’s Greatest Invention (Tulisan: Ciptaan Manusia yang Terbesar). Menyatakan bahwa karena kita belajar menulis pada usia yang sangat awal, kita jarang merenungkan pentingnya tulisan bagi umat manusia, padahal tulisan memungkinkan adanya berbagai peradaban dan kebudayaan.

Claude Levi Strauss—tulisan merupakan ciptaan ajaib yang pengembangan-nya membawa manusia pada suatu kesadaran yang lebih jelas terhadap masa lampau dan dengan demikian juga suatu kemampuan yang lebih besar untuk mengatur masa sekarang maupun masa depan.

Sesungguhnya kapan tulisan mulai dikenal?
Kapan dan dimana sebenarnya asal mula tulisan, sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Namun demikian, para ilmuwan yang telah melakukan riset dan studi dapat melacak sejarah asal mula tulisan dan mengapa manusia menulis sebagaimana yang kita kenal sekarang. Riset masih terus dikembangkan untuk membuka tabir yang masih merupakan misteri yang menarik itu.
The New Book of Knowledge (diterbitkan oleh Golier) menulis tentang legenda Mesir Kuno yang berkaitan dengan asal mula tulisan. Konon manusia mula-mula belajar menulis dari Dewa Thoth yang berkepala burung Ibis, burung berparuh sangat panjang seperti Bangau dan dianggap keramat. Dewa ini mengajar manusia membuat tanda-tanda atau gambar-gambar di pasir dengan paruhnya yang panjang untuk menyatakan kehendaknya atau menyampaikan pikiran dan perasaannya.
Bangsa Cina, Babilonia, Yunani, dan bangsa-bangsa lain di dunia, mempunyai legenda masing-masing tentang sejarah tulisan. Mereka menyadari bahwa kemampuan menulis merupakan anugerah Tuhan karena sangat besar manfaatnya. Dengan menulis (dan tentu saja membaca) manusia dapat menyampaikan pengalaman atau ilmu pengetahuan apapun yang mereka miliki untuk kepentingan generasi yang akan datang.
Andai kata orang-orang kuno tidak meninggalkan tulisan, mungkin sejarah manusia tidak akan kita ketahui. Tidak dapat kita bayangkan bagaimana keadaan dunia sekiranya tulisan tidak pernah diciptakan dan umat manusia berkomunikasi hanya secara lisan saja. Dengan adanya peninggalan-peninggalan sejarah yang berbentuk tulisan-tulisan pada batu, dinding-dinding (goa), lontar, dsb, sejarah bangsa-bangsa dapat diungkap.
Dari berbagai penelitian para sejarawan mengetahui bahwa pada mulanya tulisan hanya berbentuk gambar-gambar dan tanda-tanda. Untuk menggambar seseorang sedang makan ikan, orang-orang kuno menggambarkan tanda-tanda untuk manusia manusia (jenis lelaki atau perempuan), ikan dan makan. Keadaan berkembang ketika mereka menemukan alat untuk menulis. Mereka dapat menulis lebih cepat dan lebih banyak lagi tanda-tanda tulisan yang diciptakan. Akhirnya karena kebutuhan akankepraktisan, tanda-tanda itu lalu berkembang menjadi semacam kode-kode yang tentu saja terlebih dahulu harus dipelajari, bentuknya mirip huruf steno.
Ide menjadi sangat penting alam penciptaan tulisan ini. Ide dan objeknya menjadi satu. Karena bertolak dari ide, para ilmuwan menyebutnya sebagai ideographic. Sampai sekarang cara ini masih kita pakai. Misalnya tanda-tanda pada rambu-rambu lalu-lintas. Untuk jalan menanjak, untuk jalan berliku, untuk jalan berbahaya. Semua hanya memakai tanda-tanda dan kita yang telah mempelajarinya tahu apa yang dimaksud dengan tanda-tanda tersebut. Alfabet Cina sebagian terbesar adalah ideographic, konon berjumlah 40.000 huruf dan 4.000 di antaranya harus benar-benar dipelajari dan dipahami agar dapat menulis dengan baik. Bandingkan dengan alfabet Latin yang hanya berjumlah sekitar 26 huruf.
Bangsa Mesir kuno menemukan hurufnya sendiri yang disebut Hieroglyphics, menggunakan gambar-gambar binatang dan manusia. Karena surutnya kebudayaan Mesir Kuno, makin sedikit yang berminat untuk mengembangkan atau mempelajari tulisan ini sehingga akhirnya selama berabad-abad sejarah Mesir merupakan misteri. Ahli-ahli sejarah tidak dapat membaca huruf-huruf itu. Misteri sejarah Mesir Kuno terkuak ketika pada tahun 1799 seorang serdadu Perancis dari tentara Napoleon menemukan sebuah batu bertulis di dusun Roseta tidak jauh dari muara sungai Nil. Batu ini kemudian sangat termasyur dengan sebutan Batu Roseta. Pada batu itu terdapat tiga macam tulisan yang dipelajari dengan teliti oleh ahli-ahli Perancis dan Inggris. Tulisan paling bawah dalam bahasa Yunani. Di bagian tengah tulisan dari huruf Mesir yang disebut Demotik yang merupakan bentuk lebih sederhana dari pada tulisan kuno. Paling atas ditulis dalam bentuk Hieroglyph. Para ahli yakin bahwa tiga tulisan itu mempunyai arti yang sama. Sesudah mereka mempelajari, diketahui tulisan pada Batu Roseta bercerita mengenai penobatan seorang raja yang masih kanak-kanak yang dikenal sangat baik. Peristiwa itu terjadi pada tahun 196 sebelum Masehi. Para ahli memerlukan waktu selama 25 tahun untuk membuka rahasia Batu Roseta tersebut. Tetapi begitu makna huruf-huruf misterius itu terungkap, dengan mudah para ahli membaca peninggalan-peninggalan kuno lainnya sehingga akhirnya dapat mengetahui sejarah Mesir kuno.
Yang penting kita simak adalah kenyataan bahwa menulis merupakan salah satu cara yang sangat dibutuhkan manusia untuk berkomunikasi. Selain berkomunikasi secara lisan, mereka merasakan kebutuhan untuk berkomunikasi secara tertulis yang dalam perkembangannya menjadi cara yang praktis dan ekonomis. Dengan menulis tentang budaya yang mereka miliki, misalnya, generasi tua dapat dapat meninggalkan pengetahuan dan tradisi mereka untuk dipelajari oleh generasi mendatang. Tulisan dapat menjadi rekaman abadi setelah penulisnya meninggal dunia. Sesudah ditemukannya sarana atau perlengkapan tulis-menulis, perkembangan tulisan menjadi sangat penting seperti yang kita lihat sekarang ini.
Ternyata manusia tidak cukup puas hanya berkomunikasi secara lisan. Dengan ditemukannya tulisan, mereka mencatat peristiwa-peristiwa besar di atas batu atau pada dinding. Mereka menulis di atas kulit kayu dan di daun-daun lontar sebelum akhirnya ditemukan kertas dan alat-alat tulis lainnya. Cara berkomunikasi menjadi lebih praktis karena mereka dapat berhubungan dengan orang lain di tempat yang berbeda dan berjauhan. Kebutuhan untuk berkomunikasi inilah yang mendorong seseorang untuk menulis ketika menyadari bahwa hanya dengan berbicara tidak cukup, tidak praktis, dan tidak dapat disebarluaskan, juga tidak efektif.
Apapun yang menjadi alasan, seseorang untuk menulis, yang jelas ia ingin berkomunikasi dengan orang lain atau pihak lain melalui karya-karyanya. Sehingga, seorang penulis menulis untuk dibaca orang lain; bukan hanya untuk dirinya sendiri. Karena itu banyak hal yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan sebelum ia menulis. Dengan kata lain, seorang penulis harus dalam keadaan siap secara fisik maupun mental/spiritual sebelum bermain dengan aksara atau huruf.
Menulis pada hakikatnya adalah upaya mengekspresikan apa yang dilihat, dialami, dirasakan, dan dipikirkan ke dalam bahasa tulisan. Hampir setiap orang, agaknya pernah melakukan aktivtas menulis. Entah menulis pesan, memo, surat, buku harian, laporan, opini, naskah, buku, dll. Jadi, ada pelbagai macam bentuk dan jenis tulisan. Setiap orang mungkin pernah menulis, dari bentuk yang paling ringan dan sederhana sampai yang luas dan mendalam.
Jika kita masih (agak) kesulitan memulai membikin model tulisan yang bersifat luas dan mendalam, maka kita bisa mulai dulu latihan dengan cara membuat jenis tulisan yang ringan dan sederhana. Misalnya saja dimulai dari membikin surat pembaca dan diary (buku harian). Bikinlah surat pembaca dan buku harian seteliti dan sebagus mungkin, misalnya dari segi tema/isi dan cara penggarapannya. Bahkan beberapa tulisan yang berasal dari (sekedar) buku harian pun ada yang diterbitkan menjadi buku dan disambut dengan hangat; misalnya saja Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie, serta Pergolakan Pemikiran Islam-nya Ahmad Wahib.
Jika kita ingin menjadi penulis, maka modal yang perlu dimiliki adalah “kepekaan” dan “sikap kritis”; yaitu kepekaan dan sikap kritis berhadapan dengan “teks” kehidupan, entah teks yang tertulis maupun tidak tertulis, baik teks yang tersurat maupun yang tersirat. Untuk itu kita perlu mengasah kepekaan dan sikap kritis terus-menerus; misalnya dengan cara bertanya, menyangsikan, mendebat, dan mengolah suatu ide dan peristiwa yang terekam dalam layar kesadaran kita. Bermulanya suatu inspirasi selalu muncul dari ide dan peristiwa. Ini merupakan modal utama dari seorang penulis.

Menulis dan Mengarang
Istilah tulisan digunakan untuk menyatakan sebuah karya tulis yang disusun berdasarkan tulisan dan pernyataan gagasan orang lain (Slamet Suseno, Teknik Penulisan Ilmiah Populer).
Penulis adalah orang yang menyusun kembali hal-hal yang sudah dikemukakan orang lain. Ia mengompilasi atau meringkas dan menggabung-gabungkan ringkasan-ringkasan dari berbagai bahan informasi, sehingga tersusun menjadi tuturan baru yang masih utuh. Jadi, ia bukan pengarang.

Lantas bagaimana cara mencari ide?
Cara yang harus dilakukan adalah dengan “menggumuli” teks kehidupan yang sangat luas. Bisa berupa teks tertulis seperti bacaan atau pustaka yang beraneka ragam (buku, surat kabar, majalah, jurnal, internet), bisa juga dari teks yang terlihat dan terdengar seperti radio, televisi, musik, film, drama, karya seni, dsb. Bisa juga teks yang tidak tertulis, berupa kejadian dan peristiwa kehidupan yang kita jumpai, kita alami, kita rasakan, kita dengar, kita lihat dan saksikan.
Dari teks-teks kehidupan yang sangat luas tadi, lantas kita bisa menemukan ide dan inspirasi untuk menulis. Dari sinilah proses kreatif dimulai. Misalnya saja suatu ketika kita membaca surat kabar yang berisi liputan tentang pertikaian antaretnis di Kalimantan. Setelah membaca, lalu kita tertarik untuk membikin artikel dan opini mengenai “pertikaian antaretnis”, misalnya dari sudut pandang psikologis, sosiologis, antropologis, historis, ekonomis, agamis, dan politis.
Dari sudut pandang psikologis, misalnya, bisa dilontarkan pertanyaan: mengapa manusia (kadang-kadang), secara psikis, gampang bertikai dan melakukan kekerasan? Dari sudut pandang sosiologis bisa dibahas mengenai adanya kultur (tradisi, kebiasaan) “kekerasan” manusia di berbagai daerah dan wilayah. Dari sudut pandang antropologis bisa dilontarkan beberapa asumsi: apakah pertikaian dan kekerasan adalah merupakankebudayaan khas yang dimiliki oleh suku Madura, Melayu, dan Dayak (Kalimantan)? Dari perspektif historis bisa dilakukan tinjauan sejarah dari waktu ke waktu tentang pertikaian dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia, khususnya etnnis Madura, Melayu, dan Dayak (jika memang ada).
Dari aspek ekonomis bisa dilontarkan asumsi: apakah pertikaian dan kekerasan antaretnis di Kalimantan ada kaitannya dengan persoalan kesenjangan dan ketimpangan ekonomi antara etnis pendatang dengan penduduk asli? Kemudian, dari aspek agamis bisa dimunculkan asumsi: apakah pertikaian dan kekerasan antaretnis di Kalimantan juga ada kaitannya dengan masalah (pertikaian antar) agama? Artinya, mungkinkah pertikaian dan kekerasan yang terjadi di Kalimantan tidak sekedar merupakan problem etnis akan tetapi juga merupakan problem agama? Dan, dari aspek politis bisa dilontarkan pertanyaan (dan dugaan): apakah pertikaian dan kekerasan antaretnis di Kalimantan merupakan skenario yang sengaja diciptakan oleh kelompok tertentu untuk tujuan “politik” dan “kekuasaan”?
Kemudian untuk memperluas prespektif dan wilayah pembahasan serta untuk memperkaya tulisan kita, mungkin perlu dibahas dan diperbandingkan pertikaian dan kekerasan (antaragama, antarsuku, dan antargolongan) yang terjadi di Maluku, Sulawesi, dsb. Selain itu, dalam tulisan “Pertikaian Antaretnis” tersebut kita perlu menyisipkan ide dan pesan moral “perdamaian” untuk mengatasi pertikaian dan kekerasan antaretnis (juga antarsuku dan antargolongan) yang akhir-akhir ini merebak di tanah air.
Dengan kerangka pembahasan di atas, maka kita bisa meracik suatu tulisan (artikel) sosial-politik yang cukup menarik. Itu adalah sekedar contoh, bagaimana sebuah artikel bisa dibikin dari proses mendengarkan berita, membaca tulisan, atau bahkan menyaksikan sendiri peristiwa pertikaian dan kekerasan antaretnis yang terjadi di Kalimantan. Dari ilustrasi dan contoh di atas, tentu kita bisa mengembangkan sendiri untuk meracik artikel-artikel lainnya dari sudut pandang apapun (bebas) yang menurut kita menarik, entah dari sudut sosial politik, ekonomi, agama, dsb.
Syarat mutlak untuk jadi penulis adalah rajin membaca. Ketika memulai menulis (karya kreatif/artikel) dan berjuang menjinakkan kata, tanda baca, dan kalimat, kita harus sabar, cermat, dan telaten. Jika menulis kita hayati sebagai profesi yang mengasyikkan, maka menulis bukanlah merupakan beban yang menjenuhkan, melainkan suatu pekerjaan yang menggairahkan dan menggembirakan.
Apa yang dapat kita simpulkan dari paparan di atas adalah bahwa menulis merupakan segenap rangkaian kegiatan seseorang mengungkapkan buah pikirannya melalui bahasa tulis untuk dibaca dan dimengerti oleh orang lain. Buah pikiran itu dapat berupa pengalaman, pendapat, pengetahuan, keinginan, perasaan sampai gejolak kalbu seseorang. Buah pikiran itu diungkapkan dan disampaikan kepada pihak lain dengan wahana berupa bahasa tulis, yakni bahasa yang tidak mempergunakan peralatan bunyi dan pendengaran, melainkan berwujud berbagai tanda dan lambang yang harus dibaca. Hasil perwujudan melalui bahasa tulis itu menjadi karya tulis yang dapat berupa sesuatu karangan apapun, dari karangan faktawi sampai fiksi, yang pendek beberapa lembar atau panjang berjilid-jilid sampai corak prosa atau puisi.
Setiap karya tulis, baik berupa makalah seminar, artikel, cerita pendek, lakon sandiwara maupun naskah radio merupakan ramuan tiga unsur berupa buah pikiran, penulis, dan sarana—seperti digariskan Irving Rosenthal dan Morton Yarmon (The Art of Writing Made Simple) menjadi rumus sebagai berikut:

KARYA TULIS : Buah Pikiran (Idea) + Penulis (writer) + Sarana (medium)


Bahan pokok sesuatu tulisan apapun ialah buah pikiran yang terutama dibatasi oleh sudut pandang yang akan ditekankan. Ide itu selanjutnya dipadukan dengan minat dan latar belakang penulis serta sarana. Sarana yang dimaksud dalam tataran ini adalah medium penerbitan yang menjadi tempat pemuatan tulisan dengan senantiasa memperhatikan siapa sidang pembacanya (target audience).
Pendapat lain dilontarkan Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren (Fundamentals of Good Writing: A Handbook of Modern Rhetoric) mengemukakan tiga segi kegiatan menulis yang harus diperhatikan, yaitu medium, pokok soal (subject), dan keadaan (occasion). Medium diartikan wahana atau bahan berupa bahasa yang mempunyai azas-azas dan cara-cara pemakaian tertentu. Faktor bahasa yang harus diperhatikan oleh setiap penulis meliputi tata bahasa, irama, dan pilihan kata (diksi). Pokok soal adalah sesuatu hal (apapun) yang ditulis atau terdapat dalam tulisan, jadi ide atau buah pikiran. Pokok soal itu dalam banyak hal menentukan corak penulisan Keadaan (occasion) yang harus diperhatiakan seseorang penulis mengacu pada suatu situasi khusus yang meliputi dorongan batin penulis, keadaan pembaca, dan hubungan pengarang dengan pembaca.
Dorongan batin atau motivasi seseorang untuk menulis menurut Brooks dan Warren dapat dibedakian menjadi dua macam: pengungkapan (expression) dan tata hubungan (comminication). Seseorang dapat tergerak batinnya untuk menulis karena hasrat mengungkapkan diri seperti halnya seseorang yang mendadak menyanyi sendiri atau bersiul-siul karena kegembiraan yang timbul dalam kalbunya. Dengan menulis sesuatu karya tulis, seseorang memperoleh ketegasan mengenai apa-apa yang berkecamuk dalam pikirannya, yang merisaukan perasaannya, atau yang memerlukan kehadiran ke luar dari dirinya.
Tetapi, seseorang juga dapat terdorong dirinya untuk menulis karena kebutuhan berhubungan dengan orang lain, seperti halnya seseorang yang mendadak ingin menulis surat kepada ibunya atau kepada sidang pembaca surat kabar mengutarakan sesuatu hal. Dalam prakteknya, motivasi mengungkapkan diri dan berkomunikasi dengan pihak lain itu sering bercampur baur.

Sifat khas tulis-menulis?
Dua ciri menonjol menandai sifat khas tulis menulis, yaitu sifat sangat manusiawi dan sifat amat pribadi. Kegiatan menulis (mengarang) bersifat sangat manusiawi (human) dibandingkan dengan berbagai aktivitas lainnya karena di antara seluruh makhluk hidup hanya manusialah yang melakukan kegiatan itu, Aneka aktivitas lainnya seperti makan, tidur, bermain-main, berolah raga, menyanyi, dan menari bukan sepenuhnya ciri manusiawi karena hewan pun melakukannya. Sampai sekarang hanya aktivitas mengungkapkan buah pikiran dengan tanda/lambang tulisan merupakan monopoli manusia.
Karang-mengarang (penulisan) bersifat amat pribadi (personal) karena proses penulisan yang sesungguhnya hanya bisa dilakukan oleh satu orang saja. Hasil karangan semata-mata mencerminkan kepribadian seorang tunggal pula. Dalam praktek mengarang tidak ada karangan yang setengah kalimat ditulis oleh seseorang dan separuhnya diteruskan oleh rekannya atau alinea-alinea selang-seling disusun sejumlah penulis secara bergantian seperti halnya produksi suatu barang di pabrik dengan sistem roda berjalan. Pilihan kata, gaya pengungkapan, bentuk perbandingan, dan corak penekanan ditentukan oleh setiap penulis sendirian sehingga hasilnya pun merupakan “cap” dari pribadinya.

/2/
Ragam Karangan
Ragam karangan dapat dibedakan kedalam dua golongan besar, yaitu karangan faktawi (factual writing) di satu sisi, dan karangan fiksi (imaginative writing) di sisi yang lain. Dua pembagian ini didasarkan atas tujuan pengarang dan isi bahan karangan. Apakah ia bertujuan memberikan informasi atau hiburan; isi bahan karangan berupa fakta sesuai kenyataan atau khayalan hasil rekaan pengarang.
Disebut karangan faktawi jika tulisan yang dibuat berdasarkan fakta atau kebenaran objektif yang dapat dicek kebenarannya. Sedangkan karangan fiksi tidak dapat dicek kebenarannya secara objektif karena tulisan yang dibuat berdasarkan imajinasi pengarang (subjektif).


RAGAM KARANGAN : Karangan Faktawi + Karangan Fiksi


Dalam masing-masing ragam di atas, ada pembagian dan perincian yang lebih khusus menurut jenisnya. Pemilahan ini berdasarkan isi dan corak tulisan—apakah menyajikan pengetahuan ilmiah atau (hanya) keterangan biasa; bercorak bebas atau terikat pada bunyi irama.
Dalam ragam karangan faktawi penulis memberi informasi. Informasi yang diberikan dapat menampilkan jenis yang berbeda-beda sesuai dengan target pembaca yang dituju: kalangan ahli atau masyarakat umum. Karangan yang ditujukan kepada kalangan ahli harus sesuai penyajiannya dengan tingkat keilmuan mereka, harus merupakan karangan ilmu: dengan metode dan pengolahan data serta penyajian ilmiah. Jenis karangan ini disebut KARANGAN ILMIAH.
Bila informasi yang diberikan hanya sekerdar pemberitahuan atau keterangan semata untuk masyarakat umum tanpa perangkat-perangkat yang diperlukan oleh karangan ilmiah, seperti daftar pustaka, catatan kaki, kutipan, serta persyaratan lainnya yang bersifat ilmiah ketat, jenis karangan ini disebut KARANGAN INFORMATIF.

KARANGAN FAKTAWI : Karangan Ilmiah + Karangan Informatif


Apa yang dimaksud dengan Teknik Penulisan Kreatif?
Pengertian teknik penulisan kreatif dapat kita pahami dari pemahaman terhadap kata teknik, penulisan, dan kreatif. Kata teknik mempunyai 2 pengertian: (1) pengetahuan dan kepandaian membuat sesuatu yang berkenaan dengan hasil industri (bangunan, mesin, dsb.), (2) cara/kepandaian membuat sesuatu atau melakukan sesuatu yang berhubungan dengan seni (pengungkapan). Kata penulisan mempunyai kata dasar tulis/bertulis ‘ada huruf/angka dsb. yang dibuat/digurat dengan pena, pensil, cat, dsb.’ Dari kata itu berkembang kata lain: tulis-menulis ‘perihal menulis/mengarang’, menulisi ‘menulis pada’, menuliskan ‘menulis sesuatu di’, tulisan ‘hasil menulis’, penulis ‘orang yang menulis’, dan penulisan ‘proses perbuatan, cara menulis atau menuliskan’.
Sedangkan pengertian kreativitas berkaitan dengan: pribadi, pendorong, proses, dan produk.
Kreativitas memerlukan pelibatan berbagai fungsi kejiawaan, antara lain: (1) berpikir rasional, (2) perkembangan emosi, (3) bakat, (4) penggunaan imajinasi, dan (5) penggunaan intuisi secara maksimaL. Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi, emosi yang sangat peka, bakat yang menunjang, kemampuan berimajinasi yang cukup baik, dan intuisi yang tajam akan memiliki tingkat kretivitas yang tinggi pula. Proses penulisan kreatif melalui 4 tahapan: (a) persiapan (munculnya berbagai ide, memerlukan suasana tertentu), (b) pematangan (inkubasi), mengkaitkan ide dengan berbagai pengetahuan yang kita miliki, (c) penulisan (iluminasi), mengkonkretkan gagasan yang ada dalam pikiran ke dalam bentuk tulis, dan (d) editing (verifikasi), membaca ulang dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada.
Jadi teknik penulisan kreatif adalah menciptakan karya kreatif (cerpen, misalnya) dengan mengerahkan segenap daya imajinasi dan daya kreatif dengan mempertimbangkan unsur subjektivitas dan penciptaannya melewati empat tahapan proses kreatif.

Daftar Bacaan
Ayan, Jordan E. 2002. Bengkel Kreativitas. Diterjemahkan oleh Ibnu Setiawan. Bandung: Kaifa.
Laksana, A.S. 2006. Creative Writing: Tips dan Strategi Menulis untuk Cerpen dan Novel. Jakarta: Mediakita.
Lasa, H.s. 2005. Gairah Menulis. Yogyakarta: Alinea.
The Liang Gie. 1992. Pengantar Dunia Karang-Mengarang. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Waluyo, Herman, J. Apresiasi Puisi. Jakarta:
Sayuti, Suminto A. 2002. Semerbak Puisi. Yogyakarta: Gama Media.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda